Oleh. DR. A. Jaya Sose. SE. MBA
CENDEKIA News. Com. Makassar — Mencermati budaya Bangsa Jepang dengan kekayaan kulturnya, muncul pertanyaan apakah bangsa Indonesia lebih khusus suku bugis, masih memungkinkan kedepan kembali memiliki peradaban seperti leluhur kita dahulu.
Membandingkan dua generasi atau zaman tanpa melihat realitas zaman yang menyertainya adalah suatu hal yang tidak fair juga.
Tidak ada generasi yang cukup kuat dan kaya untuk membeli kembali masa lalu leluhurnya, seperti yang pernah diucapkan oleh Bung Karno bahwa jangan pernah melupakan sejarah (Jasmerah).
Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tidak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup itu bisa dibina, baik dengan KISAH sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur maupun dengan PERISTIWA sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.
Jika ada pernyataan bahwa peradaban leluhur dimasa lalu itu lebih mulia, hal itu benar dan sudah terjadi karena faktor pengaruh eksternal dalam berkehidupan sosial ekonomi, budaya dan lainnya ketika itu dapat dihadapi atau dihalau atas segala pengaruhnya.
Interaksi inilah yang menghasilkan peradaban sesuai perkembangan zamannya.
Membandingkan dengan bangsa Jepang, yang dapat dipetik dari mereka ada pada mobilitas budayanya, berupa Kemampuan mengelola paradoks masa lalu dan masa kini, kemampuan memadukan hal yg tradisi dengan hal yang modern.
Leluhur atau orang dulu selalu bermotif non-materialistik dalam proses sejarah dan didasari sebuah mekanisme, yakni “perjuangan untuk diakui mengenai dirinya.
Nilai seseorang itu sesuai dengan kadar tekadnya dan dibangun dari dalam diri lalu keluar yang pada gilirannya menjadi individu yang mempengaruhi.
Ia menjadi independen variabel atas lingkungannya, bukan dependen variable yg mengekor pada hal yang trending.
Perjuangan untuk diakui, dimaknai bahwa segala sesuatu itu, ditentukan oleh hukum sebab akibat. Perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas.
Faktor-faktor itu, seperti pengaruh masa kecil, keturunan, pengaruh kultural, dan sebagainya.
Berbeda dengan generasi kekinian ide, citra sosial dianggap lebih mampu menjelaskan peristiwa sejarah yang bersifat kontemporer. Masyarakat kontemporer terbiasa mengukur peristiwa apapun bermotif ekonomi, untung-rugi, kalah-menang, cepat terkenal dan yg terkini adalah post trut. Generasi kontemporer menganggap bahwa Masa depan adalah hal yang paling penting, maka jangan terlalu sering menoleh ke belakang.
Untuk memahami makna
pertanyaan ini saya tidak mensimplifikasinya, apalagi bangsa kita sudah memilih sebagai Negara Hukum dan bangsa yang menganut sistim demokrasi. Bangsa Jepang butuh sekian generasi menginstalasi kulturnya sebagai bangsa yang berbudaya kemudian menerima menjadi negara- bangsa yang konstitusional.
Demokrasi kita saat ini baru sebatas menghasilkan produk konstitusi, reformasi dalam hal regulasi cukup besar perubahannya akan tetapi secara kultur berdemokrasi jauh tertinggal, yang esensinya belum ada kesetaraan bagi warga sebagai pemilik kedaulatan, berakibat pada kelembagaan negara menjadi lemah, ekstrimnya kata Prof Jimly Asshiddiqie kelembagaan yg feodalistik.
Leluhur kita menemukan pemimpinnya melalui interaksi dan atau kontrak sosial tanpa hukum tata negara, tanpa mekanisme prosedural dalam pengambilan keputusan. Pemimpin lahir bersumber dari keteladanan perilaku yang jauh melampaui dari keseluruhan perilaku masyarakatnya. Kemuliannya itu sering disimbolkan sebagai TAU MANURUHG.
Penulis : DR. A. Jaya Sose.SE.MBA.
Editor : Agus Wittiri