Oleh : Ahmad Saransi
CENDEKIA News. Com. Makassar — Gerak sejarah bagi orang Bugis adalah sebuah pelayaran. Dunia (Alè Kawa) di ibaratkan dermaga tempat penantian dan persiapan (lino lèppa-lèppangeng).
Karena itu seorang manusia Bugis barulah memperoleh penghargaan dari keluarganya, masyarakatnya serta lingkungannya jika ia telah mengalami fase perjuangan yaitu sompe atau hijrah (dalam pengertian luas).
Predikat sebagai calon penumpang berawal dari kelahiran manusia itu sendiri di dunia yg disebut Alè Lino, alè kawa. Kelahiran manusia di dunia disebut makkatawareng ri alè kawa. Ketika manusia makkatawareng ri alè kawa kepadanya diperhadapkan dua persoalan, bèta rilaleng ininnawa kesusahan dalam hati (kesusahan dalam arti luas) dan *massimpung* atau kesenangan.
Karena itu orang Bugis dituntut untuk berusaha (reso) agar tidak menjadi orang susah. Jika ia miskin ia dituntut untuk makkarèso (bekerja keras) bahkan dia dituntut untuk keluar dari nasib (wèrè) menuju takdirnya (toto)
Oleh karena itu orang Bugis dituntut tidak pasrah pada keadaan (mabbura mali). Karena sikap pasrah sama dengan jika seseorang merajut kesusahan (tennunngi peddi). Dalam keadaan demikian tak ada alasan lain kecuali sompe (berlayar), karena dengan berlayar banyak kemungkinan bisa ditemui, dibanding jika tetap tinggal dikampung halaman.
Hal itulah mungkin terjadi pada diri Sawerigading ketika ia dilanda kesusahan di Luwu.(Ag)