Oleh : H. Andi Ahmad Saransi
CENDEKIA News. Com. Soppeng — Het voornaamste dat hier de landvoorgd te doen heft,…en vooral om te belleten dat er tusschen de koningeng van Bone en Gowa geen al te nauw verband komen mag… Artinya : tugas yang utama harus dilakukan oleh wakil pemerintah (Belanda)… terutama untuk mencegah agar jangan sampai hubungan antara Raja Bone dan Raja Gowa terlalu erat..(Tijdschrift, 1885 : 12)
Bila diperhatikan dokumen di atas nampaknya ada kekhawatiran dan ketakutan pihak Belanda (VOC) jikalau hubungan antara raja atau Kerajaan Bone dan raja atau Kerajaan Gowa terlalu erat. Hubungan yang erat di antara kedua orang raja atau kerajaan yang terpenting dan paling besar pengaruhnya di Sulawesi Selatan itu dianggap berbahaya dan dapat mengancam kepentingan Belanda.
Dengan demikian usaha Arung Palakka Petta Malampeé Gemme’na atau lasim disebut juga Datu Marioriwawo (selanjutnya kita sebut Datu Mario) dengan politik perkawinan yang dijalankannya terhadap keponakan sekaligus penggantinya yang bernama La Patau untuk menyatukan kerajaan-kerajaan utama dan terbesar pengaruhnya di Sulawesi Selatan seperti kerajaan Bone, Gowa, Luwu dan Soppeng di dalam satu tangan, sangat bertentangan dengan kepentingan Belanda. Bahkan usaha itu dianggap sangat berbahaya dan dapat mengancam kepentingan kolonial Belanda.
Datu Mario yang tidak mempunyai anak atau keturunan itu, menunjuk sebagai pengganti adalah keponakannya sendiri yang bernama La Patau yakni anak saudara perempuan Datu Mario yang bernama We Mappolobombang dan suaminya bernama Pakokoé.
Seperti diketahui Pakokoé ini adalah putra Raja Bone ke 13 yang bernama La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh Matinroé ri Bukaka. Jadi baik dari pihak ibunya (Datu Mario dan ibu La Patau adalah cucu Raja Bone ke 11 yang bernama La Tenriruwa Sultan Adam Matinroé ri Bantaeng) maupun dari pihak ayahnya La Patau memang berhak menduduki tahta kerajaan Bone.
Datu Mario adalah Raja Bone ke 15 dan La Patau adalah Raja Bone ke 16 dan bergelar La Patau Sultan Alimuddin Petta Matinroé ri Nagauleng yang selanjutnya kita singkat saja dengan nama La Patau.
Suatu bukti bahwa Datu Mario bukan antek dan tidak bernaung di bawah panji keinginan Belanda, bahwa beliau berdiri sendiri dalam usaha merebut dan memperoleh hegemoni di Sulawesi Selatan, dapat kita lihat pula dengan jelas di dalam usaha beliau menyatukan kerajaan-kerajaan utama dan yang terbesar pengaruhnya di Sulawesi Selatan seperti kerajaan Bone, Gowa, Luwu dan Soppeng di dalam satu tangan atau satu kekuasaan.
Mula-mula Datu Mario mengawinkan La Patau dengan putri raja atau Datu Luwu yang bergelar Setiaraja Sultan Muyidudin Matinroe ri Tompotikka. Putri Datu Luwu ini bergelar I Yummu Opu Larompong. Sesungguhnya Datu Luwu ini adalah bekas lawan Datu Mario dalam pertempuran laut di Buton pada awal Januari 1667.
Harapan Datu Mario dalam perkawinan politik ini ialah agar kelak anak yang lahir dari perkawinan agung ini dapat menduduki tahta Kerajaan Bone dan Luwu. Dan dari perkawinan agung ini telah membuahkan hasil pada tahun 1688 lahir seorang putri, yakni Batari Toja Daeng Talaga Siti Zaenab Arung Timurung Datu Citta Matinroé ri Tipuluē.
Beliau ini memang pula sampai dua kali menjadi raja Bone ke 17 (1714 – 1715) dan yang kedua kalinya menjadi raja Bone ke 21 (1724-1749). Beliau juga merangkap menjadi Pajung Luwu ke 19 dan Datu Soppeng 22 pula (1728-1738). Jadi putri La Patau menjadi raja di tiga kerajaan bugis yang penting, yakni di Bone, Luwu, dan Soppeng. Batari Toja wafat pada tanggal 2 Nopember 1748.
Kemudian pada tahun 1687, Datu Mario mengawinkan La Patau dengan anak perempuan Raja Gowa ke 19 Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung. Putri Raja Gowa ini bernama Siti Maryama Karaeng Patukangang. Jadi keponakan Datu Mario dikawinkan dengan cucu Sultan Hasanuddin.
Dari perkawinan agung itu lahirlah We Annebanna La Pattola, La Padasajati Toappaware, La Pareppa Tosappewali, dan La Panaungi Toappawawoi. Anak-anak mereka dikemudian hari cikal bakal menjadi raja dan memegang peranan yang amat penting di Kerajaan Bone, Gowa dan Soppeng.
Seperti La Padasajati Toappaware Matinro ri Beula. Beliau inilah yang menjadi Raja Bone ke18 (1715 -1718). Selanjutnya merangkap pula menjadi Datu Soppeng ke 21 (1714 – 1721). Kemudian La Pareppa Tosappewalie atau Sultan Ismail menjadi Raja Gowa ke 20. Kemudian menggantikan saudaranya La Padasajati menjadi Raja Bone ke 19 (1718 – 1721) juga merangkap menjadi Datu Soppeng ke 20 (1721 – 1722). Setelah wafat La Pareppa Tosappewalié ini diberi nama Anumerta Matinroé ri Sombaopu. (Beliau memang dari ibu berdarah bangsawan Gowa/Makassar dan dari ayah berdarah bangsawan Bugis).
Kemudian La Panaungi Toappawawoi Arung Mampu Karaeng Bisei menjadi Raja Bone ke 20. Beliau tidak lama memerintah dan setelah wafat mendapat gelar Anumerta Matinroé Ri Bisei
Dengan demikian jelaslah bahwa sungguhpun dari kedua perkawinan agung yang dilakukan oleh La Patau atas kehendak Datu Mario lahir putra dan putri yang berkuasa di kerajaan Bone, Luwu, Gowa dan Soppeng. Datu Mario telah menjalankan suatu strategi politik jangka panjang yang sangat bertentangan dan sangat berbahaya bagi strategi politik penjajahan Belanda. Bahkan strategi politik yang dijalankan oleh Datu Mario mengancam kedudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Jika kompeni Belanda sangat khawatir, bahkan takut sekali jika Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone bersatu atau berada di dalam tangan satu kekuasaan, maka Datu Mario Petta Malampeé Gemme’na menjalankan suatu strategi politik jangka panjang justru menuju ke arah mempersatukan tidak hanya Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone saja, akan tetapi Kerajaan Luwu dan Kerajaan Soppeng serta kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan.
Berkat politik perkawinan yang dijalankan oleh Datu Mario terhadap kemenakan dan penggantinya yang bernama La Patau Matanna Tikka, maka Datu Mario berhasil melaksanakan strategi politiknya untuk membawa kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan dalam satu kesatuan keluarga seketurunan yang berpangkal pokok pada Kerajaan Soppeng – Bone .
Itulah La Patau Matanna Tikka Datu Soppeng ke 18, Mangkau Bone ke 16 dan Ranreng Towa Wajo ke 18 lewat pertalian perkawinannya telah mengejawantahkan nilai-nilai spirit persatuan dan perjuangan untuk merintis, merebut dan mempertahan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan dikemudian hari (bersambung).